top of page
Search
  • Writer's pictureanggraalfian

SETAPAK BELERANG KE PADANG EDELWEIS

Mataku mulai tak mampu menahan gravitasi bumi dengan sekali-sekali terpejam lalu terbuka kembali. Lantunan lagu keroncong yang dibawakan oleh dua pengamen separuh baya mampu menyihir suasana hati menjadi sangat damai. Sekali-kali kuperhatikan padatnya kendaraan dan kunikmati titik dimana malam akan menggantikan siang dengan matahari yang mulai tenggelam diufuknya. Waktu itu bus membawaku membelah keramaian tol jagorawi dari terminal Baranangsiang menuju ke terminal Rambutan. Sebuah awal perjalanan menuju salah satu tempat eksotis di Jawa Barat yaitu Gunung Papandayan, Kabupaten Garut. Sebelumnya telah kusiapkan segala jenis perlengkapan mendaki bersama teman-teman yang lain. Carrier 80 L telah penuh berisi bekal perjalanan, berupa tenda, sleeping bag dan perlengkapan lainnya. Sekitar jam lima kurang, kami (Anggra, Dandy, Opik, Ancha dan Rais) berangkat menuju terminal Baranangsiang bertemu dengan dua orang lainnya (Nia dan Uli).

Pengamen rese’

“Bang mau kemana bang? Cimahi? taksi neng?” beberapa teriakan para sopir yang dengan lihainya menawari kami sesampainya di terminal Kampung Rambutan. Jam menunjukkan pukul 18.30 yang mengharuskan kami untuk segera mencari masjid mengejar waktu sholat maghrib yang singkat. “Disana pasti lagi minus mas sekarang suhunya. Naik ke gunung yang satunya aja, lagian ke Papandayan cuma lihat apa coba” kata seorang remaja tak kukenal setelah mengetahui kami akan menuju ke Papandayan. Seketika ada sedikit rasa kecewa ibarat “layu sebelum berkembang”, ekspetasi tempat indah berdasarkan hasil pencarian di om google seketika rontok karenanya. Tetapi seandainya ketemu lagi dengan orang tersebut langsung kuteriaki “mas salah besar”. Setelah urusan dengan tuhan beres, perut keroncongan membawa kami mampir ke warung kecil di pinggiran terminal. Ibu penjualnya dengan sabar melayani kami yang mulai rese’ karena kelaparan.

Bus dengan tulisan “Kampung Rambutan – Garut, membuat senyum kami melebar, “akhirnya perjalanan ini dimulai” bisikku dalam hati. Aku duduk di kursi tengah berdampingan dengan Uli dan Nia, sedangkan Opik, Rais, Ancha dan Dandy duduk dibagian belakang. Seketika kucoba gunakan segala jenis jurus untuk bisa tertidur, coba pejamkan mata, turunkan sandaran sampai naikkan kaki agar bisa tertidur. “Jreenngg, jreenngg, selamat malam bapak-bapak ibu-ibu maaf mengganggu kenyamanan anda, kami disini untuk mencari duit, 1000-2000 tak akan mengurangi kantong anda” suara pengamen tepat disamping telingaku yang langsung membuatku kaget. Dua orang pria dengan badan yang tegap besar, penuh tato dan rambut gondrong sampai pundak mulai memainkan aksinya sebagai pengamen. Sayangnya spesies pengamen jenis ini sangat berbeda dengan pengamen sebelumnya yang menyanyikan lagu keroncong dengan nikmat. Sang vokalis memetik gitarnya dengan keras dan menyanyikan lagu dengan asal-asalan yang tidak kutahu juga judul lagunya apa. Seorang lagi Nampak meminta uang dari kursi depan ke belakang, terlihat lain dari cara bapak itu meminta uang. Kulihat dia memaksa orang untuk memberikan uang, tetapi tekadku bulat untuk tidak mengeluarkan uang dari dompetku. Sampai juga si bapak ketempatku, kakinya langsung menggoyang kakiku setelah kutolak untuk memberikan uang. “Masa bangku ini kosong, kasi uang cepat” kata si bapak yang mulai menunjukkan pemaksaan. Teman disampingkupun memberikan 2 batang rokok di topinya dan setelah “negoisasi” cukup lama si bapak lelah dan menerima 2 batang rokok tersebut. Kudengar temanku (Ancha) mengalami hal yang lebih parah, nampaknya pemaksaan lebih hebat lagi. Jika bisa memberikan usul, sebaiknya pengamen harus tetap professional dalam memainkan setiap lagu dan alat musik yang dimainkan, karena seni memang seharusnya diberlakukan dengan indah.

Alun-alun Tarogong, Garut

“Nggra, bangun sudah sampai” entah suara Uli atau Nia membangunkanku dari tidur. Mataku mulai melihat sebuah tugu kecil yang membelah sebuah jalan simpang tiga. Sekilas kulihat telpon genggamku yang masih terpampang aplikasi google maps dilayarnya. Sebelumnya aplikasi ini kuandalkan untuk melihat perjalanan yang telah kami lalui, apalagi ini adalah jalan yang baru pertama kulewati. Hanya pemandangan jalan tol, patung tokoh-tokoh wayang di pinggir jalan dan warung makan sambal yang besar seperti warung dekat kampus di IPB. Tepat di depan alun-alun Tarogong bus berhenti dan para kernet dengan sigapnya menurunkan bar

ang-barang kami ke pinggir jalan.

Mataku mulai menjelajah ke setiap sudut jalanan dan bangunan sekitar alun-alun, mencari sosok Fauzi dan temannya. Kulihat sekilas telpon genggamku dan jam telah menunjukkan pukul 4 pagi. Kucoba terus menghubungi Fauzi dengan segala jenis aplikasi sosial media di telpon genggamku tapi hasilnya nihil, tak ada pesan dan panggilan yang terjawab, padahal kami telah membuat janji bertemu di alun-alun Tarogong. Untung pikiran positif masih menjadi pemenang dalam otakku, “ah mungkin dia tertidur, karena perjalanan naik motor dari bandung, atau mungkin sudah sampai di atas sehingga tak ada jaringan” kataku kepada yang lain sambil tetap bersikap tenang.

Sebuah mobil panther tua berwarna hijau kebiruan berhenti tepat di depan kami, lalu keluar sosok yang kami nanti sedari tadi, ya dia adalah Adi. Kami sempat berdiskusi singkat, membahas apakah mobil ini mampu membawa kami berdelapan bersama carrier yang super jumbo dan peralatan mendaki lainnya. “Naik aja semua, kuat kok” kata Adi meyakinkan kami bahwa mobil ini tetap tangguh. Segala jenis jurus kami gunakan, jurus melipat kaki, jurus duduk hemat 500an sampai duduk miring sambil kaki ditekuk (bagian terakhir jurus khusus si Opik karena duduk di belakang). Uli dan Nia duduk paling depan yang dengan segala upaya duduk agar tak menggangu Adi menyetir, bagian tengah diisi olehku, Ancha, Rais dan Dandi dan Opik duduk paling belakang bersama dengan carrier yang tertumpuk (sumpah posisinya jelek banget, hehe). Setelah semua naik, mobil ini ternyata tak sesuai penampakannya, terbukti mampu membelah segala medan menuju ke tempat akhir pendakian. Adi dengan lihainya membawa kami memasuki jalanan yang berliku, tak ada hambatan dalam perjalanan ini. Tak banyak kuperhatikan panorama dalam perjalanan, tanganku hanya focus untuk tetap menghubungi Fauzi yang tak kujung ada kabar.

Cisurupan

Kulihat mobil berbelok memasuki sebuah jalan yang lebih kecil dari sebelumnya, “ini sudah sampai di?” tanyaku penasaran. “Ia ini yang namanya Cisurupan” jawab Adi dengan tetap fokus menyetir mobil. Cisurupan merupakan desa terakhir sebelum melakukan pendakian atau sebelum menuju pos pertama. Sebuah desa kecil yang kulihat sangat damai, terasa nyaman bisa berada disana menyambut pagi yang indah. Perjalanan kami harus terhenti karena terdapat mobil truck yang membawa angkutan penuh dan mogok tepat di tengah jalan sehingga tak ada celah yang tersisa untuk mobil lain lewat. Setelah menunggu cukup lama dan mobil truck masih saja belum kelar diperbaiki, kami memutuskan untuk kembali dan menunggu di masjid sambil sekalian sholat subuh. “Fuuuhh, fuuhh” mulutku mulai menghembuskan udara dan menyaksikan asap keluar seperti di film-film yang menandakan bahwa udaranya sangat dingin. Di masjid kami sempat bertemu dengan beberapa pendaki dan mencoba saling bercengkrama. Pagi dan dingin menjadi pendorong yang kuat untuk membuat perut kami keroncongan, “ayo makan nasi goreng disana, saya tadi lihat” ajak Uli yang membuat kami berbinar bisa makan nasi goreng dingin-dingin. “Yah nasi gorengnya sudah pergi” kudengar perbincangan teman-teman di depan. Nampaknya kami tak berjodoh untuk makan nasi goreng pagi itu, tetapi dengan tetap semangat (read: kelaparan) kami berjalan mencari alternatif makanan yang lain. Sebuah asap terlihat menggumpal di sebuah warung kecil pinggir jalan. “Alhamdulillah” bisikku dalam hati. Ternyata itu adalah penjual bubur ayam dan kupat tahu, rasanya enak dan harganya murah yang hanya 6000an. Perut sudah terisi dan Fauzi tetap tak ada kabar, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Dan Sunrisepun Menyambut

Sebelum menuju ke pos untuk registrasi, kami menyempatkan untuk melihat setitik keindahan tuhan tentang alam “sunrise”. Matahari terbit di ufuk timurnya dan mulai memunculkan diri dibalik gunung Cikuray. Disini salah satu indahnya sebuah perjalanan ke gunung, kita akan semakin tahu betapa indahnya tuhan melukis panorama alam semesta. Sebuah perjalanan yang seharusnya membuat kami pandai bersyukur dan semakin rajin beribadah kepada sang pencipta. Tak lupa untuk eksis dulu, segala jenis gaya menghiasi kamera yang memotret kami.

Foto: merupakan lokasi di pinggir salah satu tikungan sebelum memasuki pos pertama.

Pos Simaksi

Tempat akhir pemberhentian kendaraan adalah di pos pertama atau yang biasa disebut di pos simaksi. Disini setiap pendaki gunung wajib melakukan registrasi dan membayar biaya masuk yang cukup merogoh gocek mahasiswa, meskipun panorama yang didapatkan sebanding dengan jumlah yang dibayar. Saat tiket telah di tangan, kami selanjutnya melakukan pendataan oleh tim keamanan Papandayan agar jelas daftar nama-nama orang yang mendaki. Fasilitas yang ada di pos simaksi cukup lengkap, terdapat toilet yang besar, musollah dan beberapa tempat perisitirahatan yang nyaman. Setelah memarkir mobil, langsung kucek telpon genggamku dan segera menghubungi Fauzi. Celakanya, di pos simaksi sinyal sudah tidak ada.

Complete Team

Sebelum melakukan pendakian, terlebih dahulu kami melakukan repacking dan menyiapkan segala keperluan dalam perjalanan saat mendaki. Di depan musollah, kulihat Opik, Raiz dan Nia dengan sigapnya mengolesi muka dan tangannya dengan sun block, sementara yang lain bergantian keluar masuk kamar mandi. Di sudut lain kulihat Adi sibuk menyiapkan segala perlengkapan fotografinya, “yes foto-foto bakalan berkualitas nih” kataku dalam hati. Kucoba lepas jaketku, menikmati hebusan angin yang begitu kencang dan dingin benar-benar menusuk badanku. Sambil aklimatisasi, kubiarkan tubuhku yang tanpa jaket berjalan sekeliling pos simaksi dan mencari sosok Fauzi yang tak kunjung ketemu. Efek kepikiran membuat langkahku sampai kembali ke tempat pendataan awal, disitu kulihat sosok yang tak asing lagi, sosok yang selalu kulihat selama 3 bulan satu kelas pengayaan bahasa LPDP di ITB. Ya itu Fauzi, “akhirnya” teriakku dalam hati. “Eh kamu tambah kurus” celetuk Fauzi saat kami bertemu. “Sial ini anak, sudah dicari susah, pas ketemu menghina” kesalku dalam hati. “Dari mana kamu? Nomor tidak aktif lagi” tanyaku penasaran. “Lowbet Hpku baru tadi malam tidur di pertamina sama banyak rombongan lain” jawab Fauzi dengan santai setelah kami khawatir ber jam-jam. Datangnya Fauzi membuat skuad perjalanan kami genap 10 orang dan lengkap sesuai rencana. Perjalanan yang sangat berharga dan penuh akan pelajaran. Perjalanan yang diisi oleh orang-orang luar biasa, calon magister dan doktor di ilmunya masing-masing.

Berdiri kiri ke kanan: Lutfhi dan Fauzi (Magister Teknik Kimia ITB), Ancha, Opik, Adi, Anggra, Uli dan Nia (Magister Biologi Tumbuhan IPB)

Jongkok kiri ke kanan: Dandi (Program Doktor ilmu pangan IPB) dan Rais (Magister Biologi Tumbuhan).

Inilah mengapa kusebut ini sebuah perjalan yang sangat berisi dan berkualitas. Adi dan Uli yang akan dengan fasihnya menjelaskan aspek taksonomi dari tumbuhan yang kami temui sesuai dengan bidang mereka. Nia dan Opik yang juga tak mau kalah aspek ekologi yang akan menjadi topik utama dalam sebuah perjalanan mendaki gunung. Sedangkan diriku dan Ancha yang mengambil genetika tumbuhan mencoba mengaitkan segala pengetahuan yang kami dapat termasuk proses fisiologisnya. Disisi lain ada intrik kimia dan ilmu pangan yang juga akan membuat perjalanan ini semakin penuh nuansa akademis.

Pohon Cantigi (Vaccinium varingiaefolium)

“Mari kita berdoa agar dalam perjalanan ini kita selamat sampai tujuan” ucapku sambil mengadahkan tangan diikuti pula teman-teman yang lain. Awal pendakian sebuah fenomena dominansi dan tumbuhan resisten terhadap cekaman yang selama ini kami pelajari di mata kuliah ekologi dan fisiologi tumbuhan. Awal perjalanan kami disambut dengan populasi pohon Cantigi yang sangat banyak dan cenderung tumbuh dominan, bahkan disuatu lokasi hanya beberapa lumut atau paku-pakuan yang hidup disamping pohon ini. Tumbuhan dengan nama latin Vaccinium varingiaefolium merupakan tumbuhan yang dapat digunakan sebagai fitoindikator adanya belerang pada tempat itu. “Ini sebagai tanda atau indikator bahwa disekitar sini banyak terdapat belerang, soalnya tanaman ini memiliki kemampuan untuk bertahan dalam cekaman belerang” terang Nia kepadaku layaknya dosen yang sedang mengajar di kelas, wajarlah anak ekologi tumbuhan.

Cantigi, Vegetasi dominan pada sekitar gunung papandayan.

Bebatuan, Kawah dan Belerang

Matahari mulai meninggi bersamaan dengan cahayanya yang semakin panas, kami melanjutkan perjalanan dengan melewati medan bebatuan. Hamparan bebatuan terlihat sangat luas di sekitar jalur pendakian, hanya pohon cantigi yang sangat pendek tumbuh di sela batu-batu tersebut. “Di foto di” kataku ka Adi, memanfaatkan waktu berpose depan kamera dengan tetap fokus pada perjalanan. Sekali-kali kulonggarkan rekatan sandal gunungku saat mulai terasa sakit. Disini saya percaya sebuah tulisan di blog bahwa sabaiknya menggunakan sepatu gunung saat mendaki Papandayan. Semakin lama kami berjalan, bau belerang semakin menusuk hidung dan membuatku kesulitan untuk bernafas. Segera kututup hidungku dengan buff di leherku dan bernafas perlahan sambil beradaptasi dengan bau belerang yang menyengat.

Sebuah kepulan asap mulai terlihat dengan jelas di hadapanku. “Akhirnya sampai di kawah” kataku dalam hati penuh semangat. Kawah gunung Papandayan merupakan destinasi pertama dalam rangkaian perjalanan ini. Fauzi dan Lutfi sudah cukup jauh meninggalkan kami di belakang. Kuletakkan carrier di bebatuan dan secepatnya kurebahkan badanku di sebuah gubuk kecil sambil menikmati panorama kawah yang sangat mempesona. Kulihat dari kejauhan si Opik dengan setia menunggu Nia dan Uli yang mulai berjalan cukup lambat. “Huuh” kudengar desakan bang Dandi nongol dari balik bebatuan. Cukup lama kami habiskan waktu beristirahat di gubuk itu sambil dengan bergantian menjadi model Adi pada lensa kameranya. Tak kusangka Hpku mendapatkan jaringan 3G saat berada digubuk itu, dengan secepat kilat ku upload fotoku bersama Fauzi ke grup kelas pengayaan bahasa sebelum sinyalnya hilang.

Jalur bebatuan, gubuk tempat istirahat dan berbagai pose saat kami menikmati panorama kawah gunung Papandayan.

“Ayo lanjut yuk semakin panas nanti ini, biar cepat sampai sana” ajak salah satu dari kami. Melihat tenaga kami mulai pulih dan gaya berfoto sudah habis maka dengan segera kami lanjutkan perjalanan. Fauzi dan Lutfi lagi-lagi dengan cepatnya segera berjalan duluan di depan kami. Perjalanan ini masih sama seperti sebelumnya, sepanjang mata memandang masih terlihat bebatuan dan bau belerang yang menyengat. Sesampainya di pos 7, terdapat dua pilihan jalur yaitu ke kanan dan ke kiri. Terlalu curamnya jalur ke kiri, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil jalur kanan.

Semakin berjalan ke depan hamparan bebatuan mulai menghilang. Kami disuguhkan sebuah pemandangan hutan yang didominasi pohon cantigi yang terhampar luas sepanjang perjalanan. Beberapa lokasi memiliki jalan yang terjal untuk dilalui, meskipun terdapat pula jalur pendakian yang cukup datar. Terik matahari yang menyengat membuat perjalanan ini cukup berat dan membuat persediaan air minum terkuras habis.

Pondok Salada

Setelah memalui hutan cantigi yang cukup rimbun, kulihat sebuah ruang terbuka dan kumpulan tenda-tenda yang tersusun berkelompok. Ya, tempat ini disebut dengan Pondok Salada, tempat membangun tenda setiap pendaki di papandayan. Kulihat banyak pendaki yang mulai merapikan tenda dan pulang dari lokasi camp. Kamipun memilih lokasi yang terlihat nyaman dan rata untuk membangun tenda sebanyak 4 buah. Tenda 1 berisi Uli dan Nia, tenda 2 berisi Rais, Dandi dan Opik, tenda 3 berisi Fauzi dan Lutfhi sedangkan diriku bersama Ancha dan Adi berada di tenda 4.

8 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page